Cerita Ngewe Nikmatnya Tubuh Wina Gadis 19 Tahun
Cerita Sex ini berjudul ”Cerita Ngewe Nikmatnya Tubuh Wina Gadis 19 Tahun” Cerita Dewasa,Cerita Hot,Cerita Sex Panas,Cerita Sex Bokep,Kisah Seks,Kisah Mesum,Cerita Sex Tante,Cerita Sex Sedarah,Cerita Sex Janda,Jilbab,Terbaru 2019.
Duniasex99 – Perkenalanku dengan Wina (nama sebenarnya), kasir restoran khas Sunda, ketika aku menyelesaikan bill makan siangku. Aku ngotot membayar makananku sendiri ke kasir (lazimnya dibantu oleh waiter) karena tertarik sama gadis belia ini.
Wina, seperti mojang Priangan lainnya berkulit putih mulus. Tak begitu tinggi, dadanya sedang tak begitu tampak ukurannya sebab tersembunyi dibalik baju seragamnya yang “sopan”, Rok 5 cm di atas lutut memperlihatkan kakinya yang indah mulus.Dalam percakapan singkat sewaktu membayar, aku sempat memberikan no telepon kantorku. Kenapa aku nekat melakukan ini karena sewaktu aku makan, kami sering beradu pandang. Matanya agak jelalatan memperhatikanku. Siapa tahu bisa berlanjut.
“Ditunggu teleponnya” bisikku sambil melangkah keluar. Wina hanya senyum tipis tak menyahut.
Seminggu berlalu, telepon kantorku berdering. Wina nelepon ! Sebenarnya, Aku sudah hampir melupakannya.Setelah berbasa-basi, aku mulai menjalankan rencanaku.“Pulang dinas jam berapa” tanyaku
“Kalau dinas siang pulang jam 3, kalau dinas malam jam 10″ jawabnya.
Jam dinas shift seminggu siang seminggu malam bergantian.
“Saya jemput jam 3, ya”
“Engga usah, biasa pulang sendiri naik angkot” elaknya
“Sekali-sekali, biar cepet sampai rumah” bujukku.
“Engga ah, udah biasa pulang telat”
“Kalau pingin pulang telat, ya… jalan-jalan dulu”
“Mau kemana” jeratku mulai mengena.
“Yah… nonton, kek”
“Engga suka”
“Atau ke Lembang” aku mulai masuk
“Jauh”
“Yah… sebelum Lembang” Ini semacam ‘test-case’. Sebelum Lembang, jl Setiabudi banyak bertebaran hotel, wisma, losmen, atau apapun namanya yang sering digunakan orang untuk “BBS” (bobo-bobo siang).
Sebagian besar hotel-hotel di sana menyediakan tarif “istirahat” (sekitar 3-4 jam) untuk pasangan selingkuh.
“Yeeeee… !” Jawabnya. Berarti Wina sudah memahami maksud ajakanku.
“Okey, setuju ?” serangku.
“Gimana nanti aja” ini artinya okey !
Tak mau kehilangan kesempatan emas, jam 3 kurang 10 aku sudah parkir di seberang restoran tempat Wina bekerja. Jam 3 lewat 5 Wina belum kelihatan. Aku terus mengawasi pintu restoran itu. Setiap cewe berseragam kemeja putih dan rok hitam yang keluar dari pintu itu tak lepas dari mataku. Lewat seperempat,
belum juga nongol. Aku putuskan untuk pulang sambil menstart mobil. Tapi buru-buru mesin kumatikan setelah di seberang sana mojang putih itu muncul. Aku turun mengambil posisi yang tepat. Aku melambai begitu ia melihatku. Aku masuk mobil lagi dan menstarter kembali sambil membuka pintu sebelah. Masih yakin, padahal belum tahu ia mau atau tidak.
“Mau kemana ?” tanyanya melalui jendela mobil.
“Naik aja” jawabku sambil berdebar, takut ketahuan kenalan yang mungkin saja lewat jalan Martadinata ini.
“Ya kemana dulu”
“Cepet masuk dong, engga enak dilihat orang” perintahku.
Dengan ragu Winapun masuk. Aku segera kabur dari situ. Rok seragamnya yang agak pendek makin terangkat ketika duduk, memperlihatkan sepasang kaki dan sebagian pahanya yang mulus.
“Mau kemana sih ?” tanyanya mengulang.
“Jalan-jalan”
“Jalan-jalan ke mana ?”
“Kan janjinya ke sebelum Lembang”
“Heee… siapa yang janji”
Aku mulai mewawancarainya. Dia baru lulus SMIP (Sekolah Menegah Industri Pariwisata, setingkat SMU) dan baru 3 bulan kerja sebagai kasir. Tinggal di Sarijadi sama mamanya. Dia tak mau memberi nomor teleponnya.
Aku mengarah ke Setiabudi. “Belok kiri, dong” katanya ketika kami sampai di pertigaan Gegerkalong. Memang, kalau mau ke Sarijadi harus belok kiri. Tapi aku lempeng aja, terus ke atas. Wina protes aku tak peduli.
“Kita santai sebentar” kataku menghentikan protesnya. Tak ragu-ragu aku belok ke kanan masuk ke hotel.
“GE”.
“Eh… ngaco… kemana nih” protesnya lagi”
“Tenang aja… ” padahal aku sendiri tak tenang, takut ketahuan.
“Saya udah menikah lho” katanya yang entah apa maksudnya. Masa umur 19 sudah menikah, aku meragukannya.
“Engga apa-apa, toh kita engga akan menikah” jawabku sekenanya.
Setengah berlari pelayan hotel menuntun mobilku menuju garasi dengan rolling door yang diatasnya tertulis
E-3. Begitu sampai di dalam garasi pelayan segera menutup rolling door. Aman.
Kami duduk di kamar hotel sambil minum coke sementara di depan kami terbentang tempat tidur ukuran dobel
dengan sprei putih bersih. Wina lebih banyak diam. Tak sabaran aku ingin segera bergulingan dengan Wina di atas kasur itu. Semua urusan administrasi sudah kubereskan. Tinggal gimana cara memulainya ?
“Sering bawa cewe ke sini., ya” tanyanya tiba-tiba.
“Ah, engga pernah” jawabku berbohong.
“Bohong, tadi udah hapal, berarti sering”
“Gini… kantorku ‘kan sering nyewa ruang rapat di sini. Kalau Rakor kan biasanya 2 atau 3 hari. Semua peserta rakor nginap di sini” aku mengarang cerita.
Hotel ini entah punya ruang rapat atau tidak.
“Kok ngajak ke sini, emangnya Wina apaan” Bingung juga aku.
“Yaaa… supaya kita bisa ngobrol dengan tenang, engga ada gangguan” entah ini bisa menjawab protesnya atau engga.
Obrolan dilanjutkan. Dia mulai terbuka dengan bercerita tentang pekerjaannnya, suasana rumahnya, dan pacarnya. Ternyata Wina pacaran dengan orang Cina yang sudah berkeluarga. Sambil ngobrol, sesekali tanganku menyentuh pundaknya, menepuk pahanya. Wina tak memprotes kelakuan tanganku.
“Kenapa tadi ngaku udah menikah”
“Supaya mas engga macam-macam”
“Emangnya aku takut sama suami kamu”
“Tuh… kan… ” Wina tak meneruskan kalimatnya, karena aku langsung pegang kedua bahunya, dan bibirnya kucium.
Wina meronta tapi kepalanya kupegang. Masih duduk di kursi kami berciuman. Wina tak berontak lagi. Lidahku mulai masuk ke mulutnya dan ternyata disambut pula dengan lidahnya. Hatiku bersorak. Wina tak menolak !
Dari kepala, tanganku turun merabai dadanya. Amboi… ternyata Wina punya gumpalan daging yang bulat dan keras. Dari luar memang tak begitu kelihatan tonjolan dadanya. Kemeja seragamnya terlalu sopan untuk menonjolkan bagian-bagian tubuh. Wina membiarkan tanganku meremas-remas dadanya. Wah… ini sih bisa “dimainkan”, pikirku.
Penisku mulai tegang, walaupun remasan itu tak langsung, masih ada kutang dan kemeja, tapi bentuk bulatnya terasa memenuhi telapak tanganku. Adanya “sinyal penerimaan” ini membuatku melangkah lebih lanjut. Kubuka kancing kemejanya satu persatu. Tapi sampai kancing keempat, Wina menahan tanganku sambil melepaskan ciumannya.
“Jangan… Mas… ” katanya sambil terengah.
Kesempatanku untuk melihat buah dadanya. Dibalik kutang berwarna krem itu menyembul sepasang gumpalan daging putih bersih. Bukan main indahnya. Buah dada Wina tak begitu besar, cuma bentuk bulatnya, ditambah putih mulus, menjadi nyaris sempurna. Walaupun masih tertutup kutang, tapi pinggir-pinggir atasnya yang terbuka menegaskan bentuk bulatnya itu.
Segera saja aku menciumi bagian dada yang tak tertutup kutang, termasuk belahannya. Terasa, tambah satu lagi keistimewaan buah ini : kenyal, bahkan cenderung keras ! Inilah kriteria buah dada yang sudah lama kuimpikan ! Bulat, putih, mulus, dan keras. Hanya satu kriteria yang tak masuk untuk buah dada Wina, yaitu ukurannya.
Seandainya buah dada Wina ini besar, katakanlah 34B, maka tiada kata lain selain : sempurna ! Beberapa wanita yang pernah aku setubuhi, tidak ada yang dadanya seindah punya Wina. Si Novi misalnya. T-shirt ketatnya menonjolkan sepasang buah yang besar menonjol ke depan begitu menggairahkan. Tapi setelah kutangnya terbuka, dada itu memang besar sih… hanya sudah turun dan agak lembek. Lain lagi Si Dilla.
Besar, lumayan kenyal, cuma kurang mulus dan lingkaran di sekeliling putingnya agak lebar.
Aku masih menciumi bagian dada yang tak tertutup kutang sambil mencoba melepas semua kancing kemejanya. Kembali Wina menolak tapi dengan sedikit “pemaksaan” akhirnya kemeja berhasil kutanggalkan. Badan Wina yang masih remaja ini memang mulus. Bahu, lengan atas, dada dan perut semuanya halus. Aku belum melihat
buah dadanya secara utuh, BH krem itu masih di tempatnya. Kini tali kutang sebelah kanan kutarik ke bawah. Bulatan dada kanan makin tampak, segera saja kuciumi lagi sambil mulutku bergeser ke bawah mencari-cari putingnya.
Susah juga menyedot putingnya, karena begitu kecil ! Hanya berupa tonjolan saja. Kujilati tonjolan kecil itu sambil tanganku ke punggungnya melepas kaitan kutangnya. Tak ada perlawanan. Sepasang buah indah itu sudah terhidang di depanku. Dari pinggang ke atas sudah terbuka. Bulatan daging itu semakin nyata.
Putingnya memang kecil dan warnanya merah jambu !
Gantian dada kiri yang kesergap sambil tangan kiriku meremas bulatan lainnya. Puting kecil itu mulai “tumbuh” dan mengeras, memungkinkan aku untuk menyedotnya.
Kubimbing Wina ke tempat tidur lalu perlahan kurebahkan. Aku langsung melucuti diri hingga telanjang bulat. Kelaminku sudah tegak siap. Wina melirik sebentar ke senjataku lalu terpejam lagi, tanpa komentar.
Novi, Dilla, Fifi, Ria dan lainnya biasanya berkomentar :” Ihhh… panjaang”. Wina tidak.
Dengan hanya mengenakan roknya, Wina kini terlentang di depanku di atas kasur. Aku bermaksud menindihnya, tapi perhatianku tertuju pada sepasang paha putih bersih yang hanya tersingkap sebagian. Segera sepasang tanganku menelusuri kedua belah paha itu. Halus dan licin ! Terus ke atas hingga menyentuh CD-nya. Tiba-
tiba saja Wina mengatubkan kedua kakinya yang tadi setengah terbuka sambil menutupkan tangan ke selangkangannya.
“Jangan… ” Katanya.
Okey, nanti saja. Kini aku menindih tubuhnya. Kelaminku kutempatkan di selangkangannya setelah kusingkirkan tangannya. Sambil lidahku mengeksplorasi buah dadanya, aku menggoyang pantatku. Wina menolak aku merabai CD-nya mungkin karena rangsangannya belum tinggi. Gerakan lidah dan pantatku ini “dalam rangka” meningkatkan rangsangannya. Puting itu sudah tegang dan keras, sebenarnya. Tanganku ke bawah mencari-cari kaitan roknya. Ketemu. Tapi baru saja aku menarik resletingnya, Wina berontak lagi. Aku bangkit dan lalu menarik roknya. Lagi-lagi Wina menahanku.
“Dilepas saja … biar engga kusut” akalku.
“Jangan… Mas”
“Ayo, dong Win… ” Rangsanganku sudah tinggi, ingin segera menyentuh kelamin Wina.
“Jangan Mas… saya belum pernah… ”
“Ah… masa… Saya udah engga tahan… nih… ” Aku engga percaya begitu saja kalau ia belum pernah bersetubuh, sebab awalnya tadi relatif lancar dan sekarang ia sudah telanjang dada. Kucoba lagi memelorotkan roknya. Wina menolak lagi, bahkan ia bangkit duduk.
“Ayolah Win,… sekali saja… ”
“Engga mau ! Wina belum pernah begituan”
“Ah..yang bener”
“Sumpah, Mas” Padahal aku sudah sampai pada “point no return”. Aku nekat. Dengan paksaan akhirnya terlepas juga rok itu. Wina berontak sewaktu kurabai CD yang ternyata sedikit basah. Kali ini berontaknya beneran.
“Tolonglah Mas… jangan… ” Pintanya dengan wajah memelas. Aku kasihan juga.
Okey, mungkin ini pertemuan yang pertama jadi Wina belum mau. Lain kali aku harus bisa menembus perawannya, kalau memang benar ia masih perawan. Tapi gimana nih, aku harus terus. Kalau engga jadi aku bisa pusing. Kalau engga berhubungan kelamin sekarang, tentu harus ada “substitusinya”. Maka kudekatkan batang kelaminku yang tegang maksimal ini ke mulut Wina. Wina menutup mulutnya dengan tangan sambil
menggeleng, Aku mulai kesal. Dengan sedikit kasar kutarik tangannya, kudorong kepalanya hingga rebah kembali ke bantal, lalu kutempelkan kepala penisku ke bibirnya.
“Ayo… kulum aja sebentar Win” beberapa detik penisku sempat menyapu bibirnya, lalu Wina menolak lagi.
“Saya engga bisa … Mas… ” Ujarnya kemudian setengah menangis.
“Jadi… gimana… dong… saya harus ke luar… kalau engga pusing!”
Jawaban Wina adalah, tangannya meraih penisku lalu dikocoknya. Tentu saja kurang enak meskipun tangannya halus tapi tak ada “pelicinnya”. Apa boleh buat, tak ada rotan akarpun jadi, kalau kebutuhan sudah mendesak. Supaya lebih nyaman, saya suruh Wina menggunakan sabun. Cara mengocoknyapun memperlihatkan Wina belum berpengalaman. Aku harus memberikan komando kapan memperlambat, mempercepat, menyempitkan dan melebarkan genggamannya.
Ketika kurasakan hampir tiba pada puncaknya, kusuruh ia memperlambat sambil sedikit melonggarkan. Lalu ketika tensiku menurun, kuminta untuk mempercepat. Demikian seterusnya sampai Wina trampil memainkan kelaminku, tanpa komando lagi. Dia telah hafal kapan mengubah cara kocokannya dengan melihat raut mukaku dan desahanku. Aku belum ingin ejakulasi sehingga kadang-kadang aku masih menyuruhnya memperlambat.
Wina memang cepat belajar, merem-melek aku dibuatnya. Suatu saat, kurasakan geli-geli luar biasa, rasanya aku hampir ejakulasi.
“Pelanin… Win… ” kataku sambil tersengal.
Tapi Wina bukannya memperlambat, malah mempercepat kocokannya. Kurang ajar, nakal juga anak ini. Aku sudah tak tahan, malah menikmati percepatan yang mengantarku sampai ke puncak.
“Crooot” tembakan mani pertama menimpa daerah dadanya. Wina kaget, tangannya berhenti.
“Teruus… kocok… !” perintahku. Wina menurut sambil mengarahkan kelaminku agak kesamping. Crot-crot
berikutnya mengenai bantal dan dinding. Sejenak aku terbang melayang… dan lalu rebah… !
Wina cepat-cepat melap air maniku yang bertebaran di buah dadanya.
“Ih… bau… ” Katanya.
Untuk sementara aku berhasil melepaskan ketegangan. Walaupun demikian aku agak kecewa karena gagal menyetubuhinya.
“Kenapa sih Wina engga mau ?” kataku setelah kami selesai mandi.
“Sumpah Mas, saya belum pernah begituan”
“Justru belum pernah, ayo kita coba”
“Huu… enak di lu engga enak di gua. Sama pacar aja engga begitu. Ini pacar bukan, masa minta”
“Sama pacar kamu belum pernah juga” mataku meneliti buah dadanya yang naik turun mengikuti irama nafasnya.
“Sama siapapun” sahutnya sambil menutup buah itu dengan kutangnya.
“Kalau pacaran ngapain aja ?” tanyaku lagi sambil menyelipkan tanganku ke Bhnya meremas dada.
“Ah..”tampiknya.
‘Ya … kaya… tadi” jawabnya. Lalu ia cerita tentang pacarnya yang selalu minta bersetubuh dan ia selalu menolaknya.
“Kenapa engga mau”
“Habis… dia engga mau nikahin. Udah punya isteri”
“Oooh. Milih pacar udah punya isteri”
“Habisnya saya suka”
Obrolan beralih tentang pekerjaannya. Katanya, kerjanya berat, hari liburpun harus masuk, tapi gajinya tak sesuai.
“Cariin kerjaan dong Mas”
“Agak susah sekarang. Kecuali… ”
“Kecuali apa ?”
“Kecuali kalau kamu mau kasih itu kamu”
“Weee… sory aja ya” Wina selesai memakai kembali kemejanya.
“Susah kalau begitu”
“Pulang yuk, Mas” ajaknya setelah rapi kembali.
“Sebentar… dong” Aku masih bugil.
“Cepet pakaian, Mama suka nanyain kalau kesorean”
“Kapan ke sini lagi” Aku masih penasaran pengin meniduri Wina.
“Gimana nanti aja”
“Saya telepon ya”
“Jangan. Nanti Boss marah. Biar saya yang nelepon Mas” Setidaknya aku masih punya harapan untuk menidurinya.Wina minta diturunkan di pertigaan Gegerkalong. Sebelumnya kuselipkan uang.
“Buat jajan”
“’Ma kasih”
Hari-hari berikutnya sia-sia saja aku menunggu telepon Wina. Aku dibuat penasaran sama cewe satu ini.
Ingin aku meneleponnnya ke Restoran itu. Tapi aku khawatir kalau ia kena marah Bossnya, lalu tak mau lagi menemuiku, maka lepaslah buruanku. Memang dibutuhkan kesabaran kalau kita memburu cewe. Sampai suatu hari, 6 hari setelah di hotel GE itu Wina menelepon ke kantor pagi jam 10.00. Minggu ini gilirannya kerja sore.
Ini dia kesempatan tiba. Dia minta saya menunggu di depan NHI pukul 11.00.
Singkat cerita, jadilah aku bawa Wina kali ini ke Hotel LGI, masih di Jalan Setiabudi. Agak riskan sebenarnya ke hotel ini, sebab tak ada garasi khusus seperti di GE. Tapi Wina tak mau lagi ke GE, tanpa
menyebutkan alasannya. Aku nekat saja, daripada engga dapat Wina. Aku hanya punya waktu 2.5 jam, soalnya Wina harus sampai ke tempat kerja pukul 15 tepat.
Kembali aku mulai menciumi dan membuka kancing kemeja seragamnya sesampai kami di dalam kamar. Kali ini tak ada perlawanan, dengan mudah aku membuka kemeja dan kemudian BH-nya. Selesai mengeksplorasi sepasang buah yang menggiurkan itu, kubaringkan Wina ke tempat tidur. Waktu aku menelanjangi diri, Wina bahkan
melepas roknya sendiri dan melipatnya dengan rapi. Maklum, habis ini ia langsung kerja. Dengan berbugil, kutindih tubuh mulus Wina yang hanya berCD itu. Kelaminku kuletakkan tepat diselangkangannya, lalu kugoyang.
Sementara mulutku tak lepas dari puting mungil merah jambu yang telah mengeras itu. Kali ini aku harus bisa menembus vaginanya. Kutelusuri hampir seluruh permukaan kulit mulus itu. Penisku sudah tegang maksimum. Tibalah saatnya, kutarik celananya, tapi Wina masih menahannya. Dengan sedikit paksaan, CD itu akhirnya lepas juga. Hatiku bersorak. Aku pasti dapat kali ini.
Bukan main ! Vagina itu menunjukkan keremajaan Wina. Permukaannya bersih, hanya sangat sedikit ditumbuhi bulu-bulu halus. Oh Wina… bahkan jembutmupun belum tumbuh ! Kuusap permukaan vaginanya, kusentuhkan jariku ke pintunya yang ternyata membasah. Lalu, sambil menyentuh kelentit yang tak begitu kelihatan (karena begitu kecilnya) , ujung jariku sampai ke pintu vaginanya. Spontan Wina menutup pahanya dan menarik tanganku. Okey, aku lalu menindihnya lagi.
Kugesekkan kepala penisku ke pintu itu, lalu dengan perlahan kudorong.
“Ah… ” teriaknya kecil sambil pantatnya digeser mundur.
“Jangan dimasukin Mas… ”
“Engga.. engga… cuma digeser-geser aja” Ditengah gesekan, kembali aku coba menusuk. Lagi-lagi Wina mundur.
“Jangan ! Sakit… ” katanya sambil cemberut lalu bangkit mencari-cari CDnya. Wah gawat nih kalau dia
ngambek, bisa gagal lagi aku.
“Iya… iya… deh, saya engga masukin” kataku sambil mengembalikan posisi terlentangnya. Kubuka pahanya
lagi,
kutempelkan lagi penisku dan kugeser-geser naik turun, dan kadang-kadang sedikit menekan. Sebenarnya, pada posisi menekan itu kepala penisku sudah masuk, hanya kalau aku tekan lagi kontan Wina akan mundur kesakitan sambil mengancam akan “udahan”. Terpaksalah aku hanya menikmati gesekan pada kepala penisku, tapi lama-lama keteganganku naik juga, ada rasa geli-geli juga, ada rasa melayang juga, dan… aku ejakulasi di perut Wina sambil mencengkeram tubuhnya erat-erat.
Apa boleh buat, setiap aku mulai menusuk Wina selalu menghindar. Bagaimanapun ada kemajuan, Wina sudah bersedia berbugil dan melayaniku sampai ejakulasi walau kelaminku tak sampai masuk ke dalam, hanya di permukaan mulut vaginanya. Dia tak mau kehilangan keperawanannya. Dari pembicaraan setelah itu, terungkap
bahwa Wina tetap mau melayaniku asal dengan cara seperti itu, dan ternyata ia membutuhkan “uang jajan” untuk tambahan gajinya yang tak mencukupi.
Tentu saja aku kurang puas, mauku ya… sampai “tuntas”, hubungan kelamin. Jadi, waktu Wina meneleponku lagi beberapa hari sesudahnya, akupun minta syarat : penisku harus masuk tuntas. Wina tetap tak mau, akupun menolak ajakannya. Sayang memang menolak tubuh remaja ranum yang mulus itu. Sampai kira-kira sebulan setelah pertemuan kedua di LGI itu, Wina menelepon lagi…
“Boleh, asal Wina mau sampai tuntas” jawabku atas ajakannya untuk bertemu lagi.
Sebenarnya, dengan cara ejakulasi seperti sebelumnya akupun mau. Tubuh ranumnya membuatku kangen.
“Seperti biasa aja, Mas”
“Engga mau ah” Aku tahan harga.
“Kan pokoknya Mas bisa keluar”
“Iya… tapi beda, dong”
“Beda apanya”
“Lebih nikmat kalau tuntas”
“Tolong, dong Mas, engga punya duit nih”
Akhirnya akupun mengalah, daripada tak ada “sasaran” sama sekali, sekaligus bisa menolong Wina dan memang aku rindu tubuh mulusnya !
Di tengah perjalanan menuju ke Setiabudi, Wina nyeletuk”Jangan ke sana lagi, Mas”
“Lho, kenapa ?”
“Yaa… pokoknya jangan deh”
“Atau ke GE aja”
“Jangan juga”
“Kenapa sih ?”
“Saya engga mau dua kali di tempat yang sama, takut ketahuan” penjelasan yang masuk akal.
Aku berpikir keras, kemana ? Oh ya. Kuputar mobilku 180 derajat, ke arah bawah, ke kawasan Dago, di hotel BD. Di hotel ini hanya ada satu kamar yang aman dan nyaman, paling depan letaknya. Mudah-mudahan saja tidak sedang dipakai oleh para peselingkuh lain. Kamar ini occupancy rate-nya bisa di atas 100 % ! Setelah pelayan menutup rolling door, baru Wina berani turun dari mobil. Masuk kamar, langsung kukunci dan Wina kusergap.
“Entar dulu, nanti ada yang masuk, lho” Memang, biasanya pelayan akan mengantarkan handuk, sabun, air minum, dan kuitansi.
“Udah dikunci”
Sambil duduk, kamipun berciuman. Telepon berdering. Aku melepas. Resepsionis menanyakan apakah aku mau bermalam atau hanya “istirahat” saja. Tarif istirahat 75% dari tarif semalam, aku bisa memakai selama 4 jam.
Penisku telah tegang, maklum sudah 3 hari aku tak menggunakannya. Sambil menghampiri Wina, kubuka resleting celanaku, kukeluarkan isinya. Kudekatkan ke muka Wina yang masih duduk di kursi, digenggam sebentar, kemudian dielus-elus. Tiba-tiba ditariknya kontolku mendekat sampai aku hampir hilang keseimbangan, dan… langsung dimasukkan ke mulutnya ! Kejutan ! Dari dua kali pertemuan sebelumnya, berkali-kali aku minta Wina untuk melakukan oral-sex tapi tak pernah mau. Sekarang, tanpa diminta dia malah “melahap”. Kelihatan Wina belum berpengalaman melakukan oral, gerakannya sangat “sederhana”. Tapi aku merem-melek juga.
Baru beberapa kali kuluman, pintu diketuk. Buru-buru Wina melepas penisku dan aku “menyimpannya” kembali.
Pelayan membawakan barang-barang yang aku bilang tadi, aku membayar, pintu kukunci lagi, dan kontol kukeluarkan lagi.
“Udah ah” kata Wina menolak. Anak ini aneh, tanpa diminta ia mengulum, giliran aku mau, ia menolak. Waktu kusodorkan lagi penisku kemulutnya, Wina malah berdiri dan menciumku. Sambil bermain lidah kupereteli pakaiannya satu persatu sampai telanjang bulat, lalu kutuntun ke kasur. Aku cepat-cepat berbugil.
Kutindih tubuh ranum itu, sementara mulutku menelusuri lehernya, lalu turun ke belahan dadanya, terus bergerak ke buah dada kanan, dan berakhir dengan jilatan lidah pada puting kecil merah jambu itu.
Beberapa saat kemudian puting itu mulai menonjol dan mengeras.
Sambil mengemoti puting, tanganku bergerak merayapi pinggangnya dan terus ke bawah ke pahanya, lalu keselangkangan. Permukaan vagina yang baru tumbuh sedikit rambut halus itu kutelusuri dengan tangan.
Kemudian, perlahan jariku menyentuh kelentit (yang juga kecil) dan ke bawah sedikit sampai ke pintu vagina yang ternyata sudah basah. Ketika jariku mulai memasuki pintu, Wina langsung menggeser pantatnya sambil menutupkan kakinya.
Kutarik tanganku dan sampai ke dada kiri, kuremas buah kenyal itu, sementara mulutku belum lepas dari dada kanannya. Lutut kuselipkan diantara pahanya sehingga pahanya kembali membuka. Fungsi tangan yang tadi aku ganti dengan kontol. Kutindih selangkangannya dengan penisku yang sudah keras maksimum. Seperti yang sudah-sudah aku hanya mengosokkan kepala penisku ke pintu vaginanya sambil sesekali mencoba masuk.
Lagi-lagi Wina menarik pinggulnya menghindar.Aku sudah tak tahan, nafsuku sudah sampai puncak, ingin masuk sekarang juga ! Aku melepaskan buah dadanya dan bangkit. Dengan bertumpu pada lututku, kubuka paha Wina lebih lebar, lalu kutempatkan lagi
penisku ke lubang vaginanya dan kudorong. Lagi-lagi Wina menghindar.
“Engga-engga, saya engga masukin, cuma kepalanya aja seperti kemarin” kataku sambil terengah karena nafsu yang memuncak. Setelah kepalaku masuk, kurebahkan tubuhku, dan kugoyang pantatku maju mundur. Tentu saja goyangan pendek, sebab penisku hanya di sekitar pintu vagina saja.
Ah, kalau begini terus apa enaknya. Aku nekat. Bangkit lagi bertumpu pada lutut, kutusuk vagina Wina kuat-kuat.
“Aahh, kasar begitu sih… ”
“Sory… Win, habis engga tahan”
Dengan lebih pelan tapi dengan kekuatan yang sama, kembali aku menusuk. Bless… Kepala penisku masuk.
Kelihatannya masuknya kepala penisku ini seperti pertemuan kedua minggu lalu, tapi jepitannya terasa lebih erat, jangan-jangan sudah masuk nih. Aku memeriksa ke bawah, kepala itu sudah hilang ditelan vagina Wina, diujung pintu itu hanya nampak leher kelaminku. Mungkinkah aku sudah menembus perawannya ? Tapi
mana darahnya ? Lagi pula Wina tak menghindar seperti biasanya. Pembaca, dalam kondisi begini jelas tak ada hal lain yang bisa kulakukan selain terus menusuk ! Tapi mentok. Seakan tak ada lubang lagi di dalam
sana. Akupun menarik pelan-pelan penisku untuk kemudian mulai mengocok, perlahan.
“Eeeefffff” Wina melenguh sambil mengatubkan bibirnya. Mungkin dia mulai menikmati kocokan pelanku.
Setelah beberapa kali kocokan, dengan masih bertumpu pada lututku, aku mulai menusuk lagi. Kali ini dengan tenaga penuh. Bleeessss… kulirik ke bawah, separuh kontolku sudah tenggelam ! Kontolku benar-benar
terjepit kuat ! Tapi masih belum ada darah. Ah, peduli amat dengan darah, yang penting… nikmat! Aku mulai mengocok lagi. Jelas kali ini lebih nikmat, karena gesekan dinding vagina Wina terasa lebih panjang dikontolku. Wina kulihat memalingkan wajahnya ke kanan sambil menggigit jarinya. Aku rasa ia juga menikmati
kocokanku. Sambil mengocok pelan, secara bertahap aku memperdalam jangkauan penisku ke dalam vagina Wina sampai seluruh batang kontolku habis ditelan. Hatiku bersorak.
Akhirnya, Aku berhasil juga menyetubuhi remaja ranum ini. Aku benar-benar berhubungan kelamin sekarang !
Ooohhhh… Betapa nikmatnya vagina perawan si remaja ranum ini. Syaraf-syaraf di seluruh permukaan penisku merasakan cengkeraman dinding-dinding vaginanya. Berbeda dengan wanita-wanita yang pernah kutiduri sebelumnya, vagina mereka umumnya “tak ada remnya” sehingga agak susah penisku mencari-cari gesekan
meskipun dengan berbagai macam gaya. Si ranum ini lain. Jepitan dinding vaginanya begitu “pakem” walaupun aku dengan gaya “standar”. Aku belum perlu mempercepat
kocokanku. Dengan kocokan pelan, gesekan vaginanya bisa lebih kunikmati. Terlalu sayang untuk dilewatkan.
Masalahnya cuma dalam hal mengocok aku menyukai variasi, baik kecepatan maupun “gaya”.
“Aaau… ” terdengar jeritan kecil Wina ketika Aku mulai mengubah kocokan dengan memutar.
Lalu kembali ke gaya semula, mengocok perlahan.
“Jangan… keluarin di..dalam… ya… Mas… ” kata Wina tersendat ketika aku mulai mempercepat kocokanku. Entah karena aku mempercepat kocokan atau karena pengaruh perkataan Wina tentang “keluarin”, mendadak aku merasa geli-geli hampir ke puncak.
Akupun kembali memperlambat. Tapi rasa ke puncak tak berkurang juga. Mungkin saatnya memang hampir tiba. Kocokan kupercepat lagi.
“Maaaassss… ” kali ini teriakannya agak keras. Aku tak peduli, saat puncak sudah dekat, justru makin kupercepat.
Aku melayang-layang, dan… sedetik sebelum puncak kucabut kontolku dari vagina Wina.
“Aaauufffffff” kini Wina benar-benar teriak. Aku rebah di tubuh Wina, dan… sroottt… sroottt… sroottt.
Kutumpahkan maniku di perut Wina. Aku masih merasa terbang. Terbang nikmat…
Menit-menit berikutnya aku masih tak berkutik di atas tubuh Wina. Kulirik ke bawah, banyak juga aku menyemprotkan mani. Kontolku masih agak tegang terjepit di antara perut kami, juga basah. Basahnya yang membuat aku heran, kenapa basah hanya oleh cairan bening agak putih, tak ada warna merah. Penasaran aku
bergeser “memeriksa” vagina Wina dan sprei di bawahnya. Basah yang sama, tak ada warna merah. Dari jepitan dan cengkeraman vagina, kemudian ada rasa mentok waktu tadi masuk, aku yakin tadi telah menembus perawan Wina. Kenyataannya lain. Seseorang telah mendahuluiku. Seseorang telah memecahkan selaput dara
Wina. Aku jadi berang.
“Siapa dan kapan” tanyaku menyelidik.
“Apanya… ”
“Ayolah… terus terang aja Win… ”
“Emang beda gitu ?”
“Jelas beda… dong” sebenarnya, aku tak merasakan perbedaan jepitan tadi dengan ketika aku memerawani seseorang 5 tahun yang lalu.
“Siapa… Win ?”
“Apa bedanya ?” malah balik bertanya.
“Walaupun sedikit, punyamu harusnya berdarah” kataku. Wina diam saja. Agak lama, kemudian…
“Sama pacar saya” akhirnya ia mangak.
“Kapan ?”
“Seminggu yang lalu”
“Kenapa engga dikasih ke saya” Wina tak menjawab.
Perawannya diberikan ke siapa saja itu hak Wina, cuma aku kecewa berat. Terlambat. Kehilangan kesempatan emas yang telah lama aku inginkan. Coba aku dulu engga “ngambek” tak mau menghubungi Wina, aku bisa mendapatkannya. Cuma selisih satu minggu. Bagaimana tak kecewa ?
Beberapa menit kemudian Wina bangkit menuju kamar mandi dengan masih bugil. Kuperhatikan sosok tubuh
mulus itu dari belakang. Sungguh tubuh yang menggairahkan, sayang aku gagal sebagai orang pertama yang menikmati tubuh ranum itu.
Keluar dari kamar mandi dengan hanya berbalut handuk putih, Wina kelihatan segar. Ukuran handuk hotel BD ini kecil, sehingga hanya sanggup menutupi separoh dadanya sementara di bagian bawah hanya pas menutupi vagina. Sepasang paha mulus itu terbuka penuh. Belahan dada segar itu tampak ketika ia memunguti CD dan
Bhnya.
Memperhatikan gerakan-gerakan tubuhnya sewaktu memakai celana dalam dan kutangnya membuat aku terangsang lagi. Kulihat jam, masih ada waktu sekitar 40 menit. Dengan masih berbugil segera kupeluk Wina yang baru
selesai mengenakan kutang dari belakang. Kuciumi leher belakangnya dan kuremas dadanya.
“Sekali lagi ya Win… ”
“Eeh… Mas… saya kan harus kerja”
“Masih ada waktu” kataku sambil sambil menggosokkan kelaminku ke pantatnya.
“Nanti telat Mas… ”
“Engga… sebentar aja”
Kulepaskan kembali Bhnya, lalu kuputar tubuhnya dan dadanya kusergap. Wina tak menolak, mungkin karena tadi merasa bersalah. Cdnya kupelorotkan, lalu kubimbing kembali ke kasur. Aku menidih. Aku menggoyang.
Aku masuk. Aku mengocok, berputar, menggoyang… lalu mencabut. Aku ingin posisi lain.
Aku rebah terlentang. Wina nurut saja ketika kusuruh menduduki badanku, memasukkan kelaminku ke vaginanya. Dengan posisi jongkok menghadapku Wina turun-naik sementara aku mencengkeram kedua buah kembarnya.
“Aaahhhh… sakit… Mas… ” Katanya sambil hendak mencabut. Aku buru-buru menekan pinggulnya ke bawah supaya
nancap lagi.
“Goyang Win… ” Wina menggoyang.
“Engga enak… sakit… Saya di bawah aja Mas”
Kutarik badan Wina rebah di tubuhku. Tanganku memeluk erat. Aku ingin berganti posisi tanpa mencabut.
Dengan tubuh menyatu, kami berguling. Pompaan kupercepat.
“Jangan… telat nyabutnya… ya… ”
Dan… aku terbang di awan.
Persis pukul 15 kurang tujuh menit Wina kuturunkan di depan restoran. Dengan bergegas Wina masuk…
Hari-hari berikutnya hubungan kami berlanjut. Nomor telepon rumahnya sudah di tanganku, cuma aku harus
hati-hati kalau kebetulan Mamanya yang angkat telepon. Wina tetap tak bersedia ditelepon ke tempat kerjanya.
Kalau “adikku” sedang nakal, aku meneleponnya, sebaliknya kalau Wina butuh tambahan uang jajan, dia menelponku.
Sesekali aku hanya memberi uang tanpa meminta “pelayanannya”. Kalau aku ingin “keluar di dalam”, kugunakan kondom untuk menjaga hal-hal yang tak kuinginkan.
Kini, empat tahun kemudian, kami sudah jarang ketemu. Pertemuan terakhir kira-kira 5 bulan lalu Wina sedikit kurus. Kekenyalan buah dadanya berkurang. Wina masih sendiri, masih tinggal bersama mamanya.